Pendidikan Akhlak Menurut Ibnu Miskawaih
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Nama Lengkapnya adalah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ya’qub Ibn Miskawaih. Ia
lahir pada tahun 320 H/932 M di Rayy (Teheran, ibu kota Republik Islam
Iran sekarang) dan meninggal di Isfahan pada tanggal 9 Shafar tahun 412
H/16 Februari 1030 M, Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti
Buwaihiyyah (320-450 H/932-1062 M) yang besar pemukanya bermazhab Syi’ah.
Latar belakang pendidikannya tidak diketahui secara rinci, cuma sebagian
antara lain terkenal memepelajari sejarah dari Abu Bakar Ahmad Ibn Kamil
al-Qadhi, mempelajari filsafat dari Ibn al-Akhmar dan mempelajari kimia dari
Abi Thayyib.
Ibnu Miskawaih pada dasarnya adalah ahli sejarah dan moralis. Ia juga
seorang penyair. Kesederhanaannya dalam melayani hawa nafsu, ketegaran dalam
menundukan diri yang serakah dan kebijakan dalam mengatur dorongan-dorongan
yang tak rasional merupakan pokok-pokok petunjuk ini. Beliau sendiri berbicara
tentang perubahan moral dalam bukunya Tahdzid al-Akhlak, yang
menunjukan bahwa beliau melaksanakan dengan baik apa yang telah ditulisnya
tentang etika.
Kontribusi Ibnu Miskawaih yang terbesar dalam kajian filsafat Islam adalah
tentang filsafat moral atau akhlak. Keberhasilan Ibnu Miskawaih dalam menyusun
filsafat moral, mengantarkan Ibnu Miskawaih pada jajaran filosof muslim
ternama, dengan mendapat gelar sebagai Bapak Etika Islam. Pemikiran-pemikiran
Ibnu Miskawaih ihwal akhlak atau etika secara gamlang ditulis dalam sebuah
karya monumental yaitu kitab Tahdzibul Al-Akhlak wa Tathhir Al-Araq(pendidikan
budi dan pembersihan watak).
Dari uraian diatas penulis menganggap perlu adanya suatu pembahasan tentang
pemikiran Ibnu Miskawaih tentang pendidikan akhlak. Permasalahan tersebut dapat
diuraikan dalam makalah dengan judul:
“PENDIDIKAN AKHLAK
MENURUT IBNU MISKAWAIH”
b. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, permasalahan yang akan dibahas dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Bagaimana struktur
eksistensial manusia menurut Ibnu Miskawaih?
2. Bagaimana pokok
keutamaan akhlak menurut Ibnu Miskawaih?
3. Bagaimana
komponen-komponen pendidikan akhlak: tujuan, materi, pendidik dan peserta
didik, lingkungan, metode dan evaluasi menurut Ibnu Miskawaih?
c. Tujuan
Manfaat yang diharapkan dari makalah ini adalah:
1. Bagi penulis merupakan alat untuk mengembangkan diri sebagai manusia yang
berakhlak.
2. Bagi pembaca dapat dijadikan sebagai pembelajaran yang dapat digunakan
untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman terhadap pentingnya pendidikan
akhlak.
BAB II
PEMBAHASAN
KONSEP DASAR ETIKA
A. Struktur Eksistensial Manusia
Ibn Miskawaih memandang manusia adalah makhluk yang memiliki keistimewaan
karena dalam kenyataannya manusia memiliki daya pikir dan manusia juga sebagai
mahkluk yang memiliki macam-macam daya. Ibn Miskawaih menonjolkan kelebihan
jiwa manusia atas jiwa binatang dengan adanya kekuatan berfikir yang menjadi
sumber tingkah laku, yang selalu mengarah kepada kebaikan. Menurut Ibn
Miskawaih dalam diri manusia ada tiga kekuatan yang bertingkat-tingkat dari
tingkat yang paling rendah yaitu:
·
Daya bernafsu (an-nafs al-bahimiyyat) sebagai daya terendah.
·
Daya berani (an-nafs as-sabu’iyyat/al-Ghadabiyyah) sebagai daya pertengahan.
·
Daya berpikir (an-nafs an-nathiqat ) sebagai daya tertinggi.
Kekuatan berfikir manusia itu dapat menyebabkan hal positif dan selalu
mengarah kepada kebaikan, tetapi tidak dengan kekuatan berpikir binatang. Jiwa
manusia memiliki kekuatan yang bertingkat-tingkat:
·
Al-Nafs al-Bahimmiyyah adalah jiwa yang selalu mengarah kepada kejahatan
atau keburukan.
·
Al-Nafs al-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah adalah jiwa yang mengarah
kepada keburukan dan sesekali mengarah kepada kebaikan.
·
Al-Nafs al-Nathiqah adalah jiwa yang selalu mengarah kepada kebaikan..
Ketiga daya ini merupakan daya menusia yang asal kejadiannya berbeda. Unsur
rohani berupa bernafsu (An-Nafs Al-Bahimmiyyah) dan berani (al-Nafs
as-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah) berasal dari unsur materi sedangkan berpikir (an-Nafs an-Nathiqah)
berasal dari Ruh Tuhan karena itu Ibn Miskawaih berpendapat bahwa kedua an-nafs
yang berasal dari materi akan hancur bersama hancurnya badan dan an-nafs
an-nathiqat tidak akan mengalami kehancuran.
Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa hubungan jiwa al-Bahimmiyah/as-syahwiyyah(bernafsu)
dan jiwa as-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah (berani) dengan jasad
pada hakikatnya sama dengan hubungan saling mempengaruhi.
Menurut Ibn Miskawaih penciptaan yang tertinggi adalah akal sedangkan yang
terendah adalah materi. Akal dan jiwa merupakan sebab adanya alam materi
(bumi), sedangkan bumi merupakan sebab adanya tubuh manusia. Pada diri manusia
terdapat jiwa berfikir yang hakikatnya adalah akal yang berasal dari pancaran
Tuhan. Dalam diri manusia terdapat tiga daya jiwa (al-Nafs al-Bahimiyyah, al-Nafs as-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah, al-Nafs al-Natiqah).Daya bernafsu dan
berani berasal dari unsur materi, sedangkan daya berfikir berasal dari ruh
Tuhan yang tidak akan mengalami kehancuran.
Ibn Miskawaih dalam kitab Tahzib al-Akhlaq, menggambarkan
bagaimana bahwa jika daya-daya jiwa manusia bekerja secara harmonis dan
senantiasa merujuk pada akal dapat melahirkan perbuatan-perbuatan moral yang
akan menguntungkan bagi manusia dalam kehidupannya di dunia. Stabilitas fungsi
daya-daya jiwa ini pun sangat tergantung pada factor pendidikan yang sedemikian
rupa akan membentuk tata hubungan fungsional daya-daya jiwa dalam membuat
keputusan-keputusan yang memang diperlukan manusia
dalam merealisasikan nilai-nilai moral dalam kehidupan. Dan oleh karena
penjagaan kerja akal agar selalu berjalan sesuai dengan naturalnya merupakan
prasyarat bagi perwujudan nilai-nilai moral, maka pembinaannya merupakan suatu
kemestian dalam dunia pendidikan.[1]
Manusia menjadi manusia yang sebenarnya jika memiliki jiwa yang cerdas.
Dengan jiwa yang cerdas itu, manusia terangkat derajatnya, setingkat malaikat,
dan dengan jiwa yang cerdas itu pula manusia dibedakan dari binatang. Manusia
yang paling mulia adalah yang paling besar kadar jiwa cerdasnya, dan dalam
selalu cenderung mengikuti ajakan jiwa yang cerdas itu. Manusia yang dikuasai
hidupnya oleh dua macam jiwa lainnya (kebinatangan dan binatang buas), maka
turunlah derajatnya dari derajat kemanusiaan. Mana yang lebih dominan diantara
dua macam jiwa yang lain tadi, maka demikianlah kadar turun derajat
kemanusiaannya. Manusia harus pandai menentukan pilihan untuk menundukan
dirinya dalam derajat mana yang seharusnya.[2]
Sehubungan dengan kualitas dari tingkatan-tingkatan jiwa yang tiga macam
tersebut, Ibn Miskawaih mengatakan bahwa jiwa yang rendah atau buruk (al-Nafs al-Bahimiyyah, nafsu kebinatangan)
mempunyai sifat-sifat: ujub, sombong, pengolok-olok, penipu dan takabur.
Sedangkan jiwa yang cerdas (an-Nafs an-Nathiqah) mempunyai sifat adil, harga diri,
berani, pemurah, benar dan cinta.[3]
B. Pokok Keutamaan Akhlak
Akhlak merupakan permasalahan utama yang selalu menjadi tantangan manusia
dalam sepanjang sejarahnya. Sejarah bangsa-bangsa baik yang diabadikan dalam
Alqur’an seperti kaum ‘Ad, Samud, Madyan, dan Saba maupun yang terdapat dalam
buku-buku sejarah menunjukan bahwa suatu bangsa akan kokoh apabila akhlaknya
kokoh, dan sebaliknya apabila suatu bangsa akan runtuh apabila akhlaknya rusak.
Agama tidak akan sempurna manfaatnya, kecuali dibarengi dengan akhlak yang
mulia.[4]
Pembicaraan mengenai akhlak tidak akan lepas dari hakikat manusia sebagai
khalifah dimuka bumi ini. Sebagai khalifah manusia bukan saja diberi
kepercayaan untuk menjaga, memelihara dan memakmurkan alam ini tetapi juga
dituntut untuk berlaku adil dalam segala urusannya.
Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 30 dan dalam surat Shad
ayat 27:
øÎ)ur tA$s% /u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkÏù `tB ßÅ¡øÿã $pkÏùà7Ïÿó¡our uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ÏôJpt¿2 â¨Ïds)çRur y7s9 ( tA$s% þÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB w tbqßJn=÷ès? ÇÌÉÈ
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada
Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di
muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui."
$tBur $uZø)n=yz uä!$yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur $tBur $yJåks]÷t/ WxÏÜ»t/ 4 y7Ï9ºs `sß tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. 4 ×@÷uqsù tûïÏ%©#Ïj9 (#rãxÿx.z`ÏB Í$¨Z9$# ÇËÐÈ
Artinya: “dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang
ada antara keduanya tanpa hikmah. yang demikian itu adalah anggapan orang-orang
kafir, Maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka”.
Sebagai
makhluk, manusia harus berusaha mencapai kedudukannya sebagai hamba yang tunduk
patuh terhadap segala perintah dan larangan Allah, Allah berfirman dalam surat
Ad-Dzariyyat ayat 56:
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur wÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
Artinya: “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku”.
Akhlak dalam Islam mempunyai beberapa prinsip utama yang menjadi landasan
pemikiran. Pertama, Islam berpihak pada teori tentang etika
yang bersifat universal dan fitri. Allah berfirman pada surat Al-Syams ayat
8-10:
$ygyJolù;r'sù $yduqègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ ôs% yxn=øùr& `tB $yg8©.y ÇÒÈ ôs%ur z>%s{ `tB $yg9¢y ÇÊÉÈ
Artinya: “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.
Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya
merugilah orang yang mengotorinya”.
Dalam sebuah hadits Nabi Muhammad SAW, mengajarkan agar untuk
mengetahui baik dan buruknya sebuah perbuatan, kita harus bertanya kepada hati
nurani kita. Nabi SAW menyatakan, “perbuatan baik adalah yang membuat hatimu
tentram, sedangkan perbuatan buruk adalah yang membuat hatimu gelisah”. Artinya
semua manusia pada hakikatnya baik itu muslim atau bukan memiliki pengetahuan
fitri tentang baik dan buruk. Kedua, moralitas dalam Islam
didasarkan pada keadilan, yakni menempatkan segala sesuatu pada
tempatnya. Ketiga, tindakan etis itu sekaligus dipercayai pada
puncaknya akan menghasilkan kebahagiaan bagi pelakunya.[5]
Menurut Ibn Miskawaih, untuk menuju pada kesempurnaan diri, manusia harus
melaluinya dengan aplikasi akhlak dalam kehidupan sehari-hari. Akhlak adalah
suatu sikap mental (halun li al-nafs) yang mengandung daya dorong untuk
berbuat tanpa berfikir dan pertimbangan.[6]
Sikap mental ini terbagi dua, ada yang berasal dari watak dan ada juga yang
berasal dari kebiasaan dan latihan. Dengan demikian, sangat penting menegakkan
akhlak yang benar dan sehat. Sebab dengan landasan yang demikian akan
melahirkan perbuatan-perbuatan baik tanpa kesulitan. Berdasarkan ide diatas Ibn
Miskawaih secara tidak langsung menolak pendapat sebagian pemikir Yunani yang
mengatakan bahwa akhlak yang berasal dari watak tidak mungkin berubah.[7]
Berbicara mengenai pokok keutamaan akhlak yang disajikan oleh Ibn
Miskawaih, beliau memberikan beberapa ketentuan yang harus ditempuh, oleh
setiap individu demi mencapai kesempurnaan akhlak. Ibn Miskawaih secara umum
memberi “pengertian pertengahan/jalan tengah” tersebut antara lain dengan
keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia, atau polisi tengah antara dua
ekstrim.
Ibnu Miskawaih menegaskan bahwa kemungkinan perubahan akhlak itu terutama
melalui pendidikan. Dengan demikian, dijumpai ditengah masyarakat ada dua orang
yang memiliki akhlak yang dekat kepada malaikat dan ada pula yang lebih dekat
kepada hewan. Pemikiran ini sejalan dengan ajaran Islam. Alqur’an dan Hadits
sendiri menyatakan bahwa diutusnya Nabi Muhamad adalah untuk menyempurnakan
akhlak manusia. Hal ini terdiri dari salah satu tujuan melakukan ibadah adalah
untuk pembentuk watak yang pada gilirannya akan memperbaiki tingkah laku
masyarakat dan pribadi muslim. Bahkan, akhlak sering dijadikan ukuran sebagai
keberhasilan seseorang dalam mengajarkan ajaran Islam yang dianutnya.
Berbicara mengenai pokok keutamaan akhlak Ibn Miskawaih, beliau memberikan
beberapa ketentuan atau jalan yang harus ditempuh oleh setiap individu demi
mencapai kesempurnaan akhlak Ibn Miskawaih secara umum memberi “pengertian
pertengahan/jalan tengah” tersebut antara lain dengan keseimbangan, moderat,
harmoni, utama, mulia, atau posisi tengah antara dua ekstrem. Akan tetapi
beliau lebih cenderung berpendapat bahwa keutamaan akhlak secara umum diartikan
sebagai posisi tengah antara ekstrem kelebihan dan ekstrem kekuatan
masing-masing jiwa manusia, yang mana jiwa ini berasal dari pancaran Tuhan.
Dalam hal ini Ibn Miskawaih memberi tekanan yang lebih bagi pribadi
masing-masing manusia. Menurut Ibn Miskawaih jiwa manusia ini ada tiga,
jiwa al-Nafs al-Bahimiyyah (nafsu), jiwa al-Nafs as-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah
(berani), dan jiwa al-Nafs al-Natiqah (berfikir/rasional). Posisi tengah
jiwa al-Bahimiyyah adalah menjaga kesunyian diri, posisi
tengah jiwa as-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah adalah keberanian, dan yang terakhir adalah jiwa al-Natiqah adalah
kebijaksanaan. Adapun gabungan dari posisi tengah/keutamaan semua jiwa tersebut
adalah keadilan/keseimbangan. Dan alat yang dijadikan ukuran untuk memperoleh
sikap pertengahan adalah akal dan syari’at.[8]
Berikut ini rincian pokok keutamaan akhlak menurut Ibn Miskawaih:
1. Kebijaksanaan
Kebijaksanaan merupakan sebuah keadaan jiwa yang memungkinkan jiwa
seseorang mampu membedakan antara yang benar dan yang salah. Dalam semua
keadaan Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa kebijaksanaan adalah keutamaan jiwa
rasional yang mengetahui segala yang maujud, baik hal-hal yang bersifat
ketuhanan maupun hal-hal yang bersifat kemanusiaan. Pengetahuan ini melahirkan
pengetahuan rasional yang memberi keputusan antara yang wajib dilaksanakan
dengan yang wajib ditinggalkan.[9]
Ibnu Miskawaih juga memberi pengertian bahwa, kebijakan adalah pertengahan
antara kelancangan dan kedunguan. Yang dimaksud dengan kelancangan disini
adalah penggunaan daya pikir yang tidak tepat. Adapun yang yang dimaksud dengan
kedunguan ialah membekukan dan mengesampingkan daya pikir tersebut walau
sebetulnya mempunyai kemampuan untuk menggunakannya, bukan pada sisi kualitas
daya pikir.[10]
Secara sederhana dapat kita cermati maksud dari kebijaksanaan disini adalah
kemampuan dan kemauan seseorang menggunakan pemikirannya sebagai secara benar
untuk memperoleh pengetahuan, sehingga mendapatkan pengetahuan yang rasional.
Yang kemudian pengetahuan ini diaplikasikan dalam wujud perbuatan berupa
keputusan tersebut.[11]
2. Keberanian
Keberanian merupakan keutamaan dari jiwa yang muncul pada diri manusia pada
saat nafsu terbimbing oleh jiwa. Artinya tidak takut terhadap hal-hal yang
besar. Sifat seperti ini kedudukannya pertengahan antara pengecut dan nekat.
Pengecut adalah takut terhadap sesuatu yang seharusnya tidak perlu ditakuti.
Adapun nekat adalah berani terhadap sesuatu dan menafikan sebuah konsekuensi.
Gejala terbesar dari keberanian ini berupa tetapnya pikiran ketika berbagai
bahaya datang. Kondisi seperti ini akan hadir karena faktor ketenangan dan
keteguhan jiwa dalam menghadapi segala hal. Sehingga jikaditinjau dari sifat dasar
jiwa, pada dasarnya jiwalah yang mampu membedakan antara manusia dan binatang.
Jiwa dalam hal ini memanfaatkan badan untuk menjalin hubungan dengan alam wujud
yang lebih spiritual dan tinggi.[12]
Sehingga dapat kita simpulkan bahwa seseorang yang mampu menempatkan
keberanian pada posisinya adalah manusia yang bisa memanfaatkan jiwa menurut
esensinya.
3. Menjaga Kesucian Diri
Menjaga kesucian diri merupakan keutamaan jiwa yang akan muncul pada diri
manusia apabila nafsunya dikendalikan oleh pikirannya. Sehingga mampu
menyesuaikan pilihannya dengan tepat dan tidak dikuasai serta diperbudak oleh
nafsunya.[13]
Kesucian diri yang terdapat pada setiap orang akan berbeda-beda tergantung
bagaimana seseorang bisa mengatur hati dan tingkah lakunya dalam aplikasi
kesehariannya.
4. Keadilan
Keadilan adalah bagaimana sikap seseorang bisa menempatkan segala sesuatu
pada tempat dan porsinya masing-masing. Keadilan yang dimaksud Ibnu Miskawaih
dalam hal ini berarti kesempurnaan dari keutamaan akhlak yaitu perpaduan antara
kebijaksanaan, keberanian, dan menahan diri, sehingga menghasilkan keseimbangan
berupa keadilan. Adapun keadilan yang diupayakan manusia dalam hal ini adalah
menjaga keselarasan atau keseimbangan agar tidak saling berselisih dan menindas
antara satu dengan yang lainnya. Hal ini berlaku bagi kesehatan jiwa dan tubuh,
hal ini bisa tercapai apabila manusia dapat menjaga keseimbangan dalam
temperamen yang moderat.
Dari uraian tersebut dapat diperoleh pemahaman bahwa, keadilan yang
diupayakan manusia diarahkan kepada dirinya dan orang lain. Sehingga pokok
keutamaan akhlak yang dimaksudkan Ibnu Miskawaih adalah terciptanya
keharmonisan pribadi dengan lingkungannya. Dapat kita pahami bahwa ahlak
merupakan jalan tengah mengajarkan seseorang untuk mengajarkan seseorang untuk
mencari jalan keselamatan. Mengingat pentingnya pembinaan akhlak, Ibnu
Miskawaih memberikan perhatian yang sangat besar terhadap akhlak manusia.
Sehingga untuk membentuk akhlak yang sempurna dan sesuai dengan fitrahnya
manusia, ia menempatkan pendidikan akhlak yang dimulai dari masa kanak-kanak.
Beliau menyebutkan masa kanak-kanak merupakan mata rantai jiwa hewan dengan
jiwa manusia berakal. Pada jiwa anak secara perlahan berakhir dan jiwa manusiwi
dengan sendirinya akan muncul sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia.
C. Komponen-komponen Pendidikan Akhlak
1. Tujuan
Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawaih adalah terwujudnya
sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua
perbuatan bernilai baik, sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh
kebahagiaan yang sempurna (al-sa’adat). Dengan alasan ini, maka
Ahmad’Abd Al-Hamid Al-Sya’ir dan Muhammad Yusuf Musa menggolongkan Ibn
Miskawaih sebagai filosof yang bermazhab al-sa’adat di bidang akhlak.
Al-sa’adat memang merupakan persoalan utama dan mendasar bagi hidup manusia dan
sekaligus bagi pendidikan akhlak. Al-sa’adat merupakan konsep komprehesif yang
di dalamnya terkandung unsur kebahagiaan (happiness), kemakmuran (prosperity),
keberhasilan (success), kesempurnaan (perfection), kesenangan (blessedness),
dan kebagusan/kecantikan.
Seperti telah disinggung pada pembahasan sebelumnya, al-sa’adat dalam
pengertian di atas, hanya bisa diraih oleh para nabi dan filosof. Ibn Miskawaih
juga meyadari bahwa, orang yang mencapai tingkatan ini sangat sedikit. Oleh
sebab itu, akhirnya ia perlu menjelaskan adanya perbedaan antara kebaikan (al-khair)
dan al-sa’adat. Di samping juga membuat berbagai tingkatan al-sa’adat. Kebaikan
bisa bersifat umum, sedangkan al-sa’adat merupakan kebaikan relatif, bergantung
orang perorang (al-khair bi al-idafat ila shahibiha). Menurutnya,
kebaikan mengandung arti segala sesuatu yang bernilai (al-syai’ al-nafi).
Oleh karenanya, kebaikan merupakan tujuan setiap orang.
2. Materi
Untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan, Ibn Miskawaih menyebutkan
beberapa hal yang perlu di pelajari, diajarkan atau di praktikan. Sesuai dengan
konsepnya tentang manusia, secara umum Ibn Miskawaih menghendaki agar semua
sisi kemanusiaan mendapatkan materi yang memberikan jalan bagi tercapainya
tujuan. Materi-materi tersebut oleh Ibn Miskawaih dijadikan pula sebagai bentuk
pengabdian terhadap Allah swt. Ibn Miskawaih menyebut tiga hal pokok yang dapat
dipahami sebagai materi pendidikan akhlaknya:
a. Hal-hal yang wajib bagi kebutuhan
tubuh.
b. Hal-hal yang wajib bagi
jiwa, dan
c. Hal-hal yang wajib bagi
hubugnannya dengan sesama manusia.
Berbeda dengan Al Ghazali, Ibn Miskawaih tidak membeda-bedakan antara
materi dalam ilmu agama dan bukan ilmu agama, dan hukum mempelajarinya.
3. Pendidik dan Anak Didik
Menurut Ibn Miskawaih orang tua merupakan pendidik pertama bagi
anak-anaknya. Materi utama yang perlu dijadikan acuan pendidikin dari orang tua
kepada anaknya adalah syari’at. Ibn Miskawaih berpendapat bahwa, penerimaan
secara taklid bagi anak-anak untuk mematuhi syariat tidak menjadi persoalan.
Dasar pertimbangannya adalah karena semakin lama anak-anak akan mengetahui
penjelasan atau alasannya, dan akhirnya mereka tetap memelihara sehingga dapat
mencapai keutamaan. Guru berfungsi sebagai orang tua atau bapak
ruhani, tuan manusiawi atau orang yang dimuliakan, kebaikan yang akan diberikan
adalah kebaikan Illahi, karena ia membawa anak didik kepada kearifan,
mengisinya dengan kebajikan yang tinggi dan menunjukan kepada mereka kehidupan
abadi.
4. Lingkungan Pendidikan
Ibn Miskawaih berpendapat bahwa, usaha mencapai al-sa’adat tidak dapat
dilakukan sendiri, tetapi harus bersama atas dasar saling tolong-menolong dan
saling melengkapi, kondisi demikian akan tercipta kalau sesama
manusia saling mencintai. Setiap pribadi merasa bahwa kesempurnaan sendirinya
akan terwujud karena kesempurnaan yang lainnya. Jika tidak demikian, maka
al-sa’adat tidak dapat terwujud sebagai makhluk sosial. Ibn Miskawaih berpendapat
bahwa selama di alam ini, manusia memerlukan kondisi yang baik di luar dirinya.
Ia juga menyatakan bahwa sebaik-baik orang adalah orang yang berbuat baik
terhadap keluarganya dan orang-orang yang masih ada kaitan dengannya, mulai
dari saudara, anak, kerabat, keturunan, rekanan, tetangga, hingga teman. Disamping
itu, Ibn Miskawaih berpendapat bahwa salah satu tabi’at manusia
adalah tabi’at memelihara diri, karena itu manusia selalu berusaha untuk memperolehnya bersama
dengan mahluk sejenisnya. Diantara cara untuk menempuhnya adalah dengan
saling bertemu, manfaat dari pertemuan diantaranya adalah akan memperkuat
aqidah yang benar dan kestabilan cinta sesamanya.
5. Metode
Beberapa metode yang diajukannya untuk mencapai akhlak yang baik
adalah pertama, adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih
terus-menerus dan menahan diri (al-‘adat wa al-jihad) untuk memperoleh
keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan jiwa. Kedua,
dengan menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin
bagi dirinya.[14]
BAB III
KESIMPULAN
A. Struktur Eksistensial Manusia
Menurut Ibn Miskawaih dalam diri manusia ada tiga kekuatan yang
bertingkat-tingkat dari tingkat yang paling rendah yaitu:
·
Daya bernafsu (an-nafs al-bahimiyyat) sebagai daya terendah.
·
Daya berani (an-nafs as-sabu’iyyat/al-Ghadabiyyah) sebagai daya pertengahan.
·
Daya berpikir (an-nafs an-nathiqat ) sebagai daya tertinggi.
B. Pokok Keutamaan Akhlak
1. Kebijaksanaan
2. Keberanian
3. Menjaga Kesucian Diri
4. Keadilan
C. Komponen-komponen Pendidikan Akhlak
1. Tujuan
2. Materi
3. Pendidik dan Anak
Didik
4. Lingkungan Pendidikan
5. Metode
BAB IV
PENUTUP
Alhamdulillahhirabilaalamin dengan rahmat Allah yang maha kuasa akhirnya
makalah ini dapat terselesaikan, pemakalah mohon maaf apabila terdapat
kesalahan baik dalam penulisan maupun perkataan, sekiranya dapat dimaklumi
karena kami pun dalam tahap pembelajaran dalam pembuatan makalah, kritik dan
saran dari saudara yang bersifat membangun sangat kami harapkan agar makalah
yang selanjutnya bisa lebih baik dari ini semuanya, terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
- Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, ed. Syekh. Hasan Tamir,
(Beirut, Mansyurat Dar Maktabat Al-Hayat, 1398H).
- A. Musthofa, Filsafat Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2009).
- Abu Bakar Atjeh, Sejarah Filsafat Islam, 1970.
- Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibn Miskawaih, (Yogyakarta,
Belukar, 2004).
- Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam, (Bandung, Mizan, 2005).
- Muhamad Yusuf Musa, Bain Al-Din wa Al-Falsafah,(Kairo, Dar Al-Maarif,
1971).
- Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta, Bulan
Bintang, 1986).
- Oliver Leamen, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, ed. Sayyed
Hossein Nasr, (Bandung, Mizan, 2003).
[1] Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, ed.
Syekh. Hasan Tamir, (Beirut, Mansyurat Dar Maktabat Al-Hayat, 1398H), hal. 32.
[9] Ibn Miskawaih, Tahzib
al-Akhlaq, ed. Syekh. Hasan Tamir, (Beirut, Mansyurat Dar Maktabat
Al-Hayat, 1398H), hal. 40.
[10] Ibn Miskawaih, Tahzib
al-Akhlaq, ed. Syekh. Hasan Tamir, (Beirut, Mansyurat Dar Maktabat
Al-Hayat, 1398H), hal. 46.
[12] Oliver Leamen, Ensiklopedi
Tematis Filsafat Islam, ed. Sayyed Hossein Nasr, (Bandung, Mizan, 2003),
hal. 312.
[13] Ibn Miskawaih, Tahzib
al-Akhlaq, ed. Syekh. Hasan Tamir, (Beirut, Mansyurat Dar Maktabat
Al-Hayat, 1398H), hal. 40.
[14] Ibn Miskawaih, Tahzib
al-Akhlaq, ed. Syekh. Hasan Tamir, (Beirut, Mansyurat Dar Maktabat
Al-Hayat, 1398H),
Tidak ada komentar:
Posting Komentar